Tulisan saya kali ini bisa jadi membuat telinga merah bagi yang merasa. Namun biarkanlah, apapun itu sebagai manusia yang tak sempurna, selayaknya tetap saya menghaturkan maaf …maaf…dan maaf.
Pembaca yang budiman, hampir sebagian besar manusia Indonesia bilamana membicarakan sosok pemimpin pastilah berkaitan dengan cerminan dari buruk rupa kaderisasi organisasi. Organisasi hanya identik dengan perebutan kekuasaan, miskin pewarisan nilai-nilai dan pembentukan karakter. Organisasi boleh saja berlabel agama, tetapi perilaku kadernya tidak berbeda dengan organisasi preman sekalipun” astaghfirullah…!!!
“Bila seorang pemimpin telah mengerjakan tugas kepemimpinannya, pastilah jejaknya tidak sulit untuk dilacak. Jejak kepemimpinannya akan menjadi model pembelajaran abadi. Seorang pemimpin dengan kaliber yang mengagumkan, selalu memiliki jejak yang jelas, sehingga setiap orang atau generasi berikutnya dapat memahami model, strategi bahkan filosofi yang dianutnya. Karena itu, jejak kepemimpinanya akan berkemampuan mengangkat motivasi dalam kandidat pemimpin lainnya, sebab jejak kepemimpinannya mudah untuk ditiru dan dikembangkan.
Kita bisa mereview persoalan kaderisasi pemimpin ini dari awal Era Reformasi tahun 2008 silam. Sejatinya, gerakan Reformasi tersebut telah menggiring hampir seluruh organisasi di negeri ini ke dalam kancah “pasar bebas” yang miskin idealisme, norma dan regulasi. Era ini menjadi wahana pertarungan multi ideologi pragmatis yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok pemilik sumberdaya yang kuat semata.
Gerakan Reformasi di Indonesia juga terlanjur memberikan kepercayaan yang terformalisasi dengan kekuasaan “sangat besar” kepada organisasi yang berlabel partai politik untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Sistem kenegaraan dan pemerintahan kita menempatkan organisasi partai politik pada posisi sentral, dan wadah kaderisasi elit-elit negara dan pemerintahan di Indonesia. Padahal, jika dilihat dan dicermati dari proses lahir, tumbuh dan berkembangnya organisasi partai-partai politik di Era Reformasi ini, kehadiran sebagian besar partai politik, secara umum berlangsung secara “instant”. Sedikit sekali partai politik yang memiliki landasan ideologi dan fatsun politik yang jelas.
Saat ini,organisasi partai politik lah yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi dan undang-undang untuk mensuplai kader-kader pemimpin bangsa, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga di tingkat nasional. Tetapi ironisnya, rekruitmen yang dilakukan partai politik untuk menjadi kader-kadernya, tidak diiringi dengan kriteria dan akuntabilitas yang kuat. Dengan alasan hak asasi manusia, siapa saja bisa menjadi kader partai politik, tanpa kualifikasi kompetensi serta keahlian yang jelas.
Tidaklah mengherankan, seseorang dengan latar belakang tukang jagal hewan, karena memiliki kedekatan dengan elit-elit partai politik, atau memiliki pergaulan yang bagus dengan masyarakat, dapat dengan mudah duduk menjadi seorang regulator di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Atau, bisa juga seorang pesolek yang memiliki paras yang rupawan dan cantik jelita, sehingga mudah bergaul dengan siapa saja, dapat dengan gampang mengalahkan seorang sarjana hukum yang memiliki kompetensi yang baik sebagai seorang legislator. Lagi- lagi saya tertawa…hahahaha.
Kader-kader partai politik seperti inilah yang akhirnya bermetamerfosa menjadi kekuatan yang besar di parlemen nasional maupun tingkat lokal. Tapi ironisnya, justru di tangan merekalah nasib masyarakat, pengalokasian uang negara dan nasib abdi negara diserahkan secara bulat-bulat. Celakanya, hampir tidak satupun regulasi dan kebijakan publik yang hadir di negeri, tanpa campur tangan partai politik. Organisasi partai politik, baik ditingkat lokalmaupun nasional tumbuh seperti “wakil tuhan di bumi” yang diberikan “lisensi” untuk mengajukan kader-kader pemimpin di setiap tingkatan pemerintahan kita.
Di tingkat lokal, partai politik sepertinya tampil sebagai organisasi “untauchable”. Sampai dengan Mei 2013, sudah terpilih sebanyak 904 pasang KDH/WKDH melalui Pilkada langsung sejak tahun 2005. Seluruhnya adalah “kader” partai politik yang bermetamerfosa menjadi pemimpin di tingkatan daerahnya masing-masing.
Namun ketika kurang lebih 300 orang KDH/WKDH (16,5 %) tersangkut masalah hukum dan menjadi tersangka karena pelanggaran hukum, ternyata tidak satupun partai politik pengusungnya yang bertanggung jawab atas “perbuatan” kadernya tersebut, organisasi partai politik cenderung cuci tangan.
Organisasi partai politik yang melahirkan kader-kader pemimpin menjadi gubernur, bupati maupun wali kota tersebut, sepertinya memutuskan “hubungan moral” dengan kader-kader yang diusungnya, dan cenderung menghindar dan tidak bertanggung jawab terhadap kebijakan dan kinerja kader-kader yang telah dipromosikan menjadi pemimpin. Inilah potret kaderisasi kepemimpinan ala Era Reformasi yang sesungguhnya terjadi dewasa ini.
Demikian juga ketika maraknya fenomena disharmonisasi atau pecah kongsi antara KDH dengan WKDH yang terjadi pada 96 % kader pemimpin yang pernah diusung partai politik, boleh dikatakan tidak terlihat upaya organisasi partai politik untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Padahal, fenomena pecah kongsinya KDH dengan WKDH tersebut, memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kinerja birokrasi pemerintahan daerah.
Si Pulan harusnya tegas menunjuk organisasi partai politik lah, diantara organisasi yang memiliki wajah buruk rupa dalam sistem kaderisasi pemimpin di negeri ini. Keterbukaan untuk menyampaikan data dan fakta apa adanya, adalah wujud akuntabilitas kita untuk berkontribusi memberikan masukan bagi penyelesaian masalah di negeri ini.
Perlu juga dicermati pendangan bahwa kaderisasi pemimpin juga terkait dengan bakat. Seorang pemimpin sadar bahwa bakat merupakan potensi yang telah ada dan bukan sesuatu yang diinginkan. Karenanya, pengembangannya wajib bertolak dari semua bakat-bakat yang dimiliki. Tidak ada bakat yang lemah, yang ada adalah bakat yang belum ditumbuhkan.
Organisasi partai politik mendapatkan legitimasi untuk menjadi wadah pengembangan bakat-bakat kader pemimpin di negeri ini.
Untuk itu, amatlah penting bagi organisasi partai politik untuk mengembangkan bakat-bakat kadernya secara positif. Bukan hanya sekedar melakukan rekruitmen, tetapi tidak mampu mengarahkan dan menumbuhkan bakat-bakat kadernya untuk menjadi pemimpin yang berkualitas dan berguna bagi bangsa dan negara.
Dengan sistem rekruitmen dan ikhtiar yang dilakukan organisasi partai politik terhadap bakat-bakat kepemimpinan yang ada selama ini, maka Nashrian tidak perlu berkecil hati bila belum terlihat jejak kepemimpinan yang jelas hingga saat ini, karena organisasi yang ada memang belum mampu menghadirkan kader pemimpin yang mengagumkan.
Kita juga tidak akan dapat menemukan model, strategi dan filosofi yang kuat dari jejak pemimpin yang dapat ditiru dan dikembangkan secara positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi ini, karena organisasi yang sudah mendapat dukungan dan kepercayaan secara legal dari negara pun, belum mampu mewujudkannya. Lalu sampai kapan ini berlangsung? Kita, anda, mereka, kalian, dan sampeyanlah yang mampu menjawabnya.***
Penulis : Denny Sinatra (Pemimpin Redaksi metrosurya.com)
Posting Komentar