Dewan Perwakilan Daerah (DPD) prihatin atas belum maksimalnya sistem legislasi nasional karena ternyata berimplikasi pada ketidakpastian hukum.
Sebanyak 117 permohonan judicial review Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi menunjukkan bukti lemahnya kualitas legislasi.
Sebanyak 117 permohonan judicial review Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi menunjukkan bukti lemahnya kualitas legislasi.
Masalah ini menjadi bagian utama refleksi akhir tahun DPD, yang disampaikan Ketua DPD Irman Gusman di Jakarta, Kamis (27/12). Banyaknya peraturan nasional bukan saja memperlihatkan buruknya penataan legislasi nasional, tetapi juga berdampak pada daerah. Apalagi sebagian peraturan yang diujikan berkaitan dengan otonomi daerah.
DPD telah bekerjasama dengan 32 perguruan tinggi se-Indonesia untuk mengkaji keberadaan peraturan terkait otonomi daerah tersebut. Hasilnya, masih banyak peraturan nasional yang sangat merugikan daerah. Bahkan sekitar 16.548 peraturan tak jelas implementasinya. Kata Irman, ada 84 perundangan dalam pelaksanaannya merugikan daerah.
DPD sendiri terpaksa mengajukan judicial review UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD—biasa disebut UU MD3. Juga memohon uji UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Menurut Irman, langkah itu terpaksa ditempuh karena isinya sangat merugikan DPD sebagai representasi daerah.
La Ode Ida menambahkan DPD kini sedang berencana membahas regulasi yang berorientasi pada penggunaan hak inisiatif untuk menghapus muatan perundang-undangan yang menyulitkandaerah.
Wakil Ketua DPD itu juga menyoroti perseteruan beberapa lembaganehara. Misalnya, kata La Ode, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Kementerian Keuangan soal audit pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri, termasuk DPD dengan DPR. Perseteruan semacam itu, kata dia, berdampak pada ketidakharmonisan yang berpengaruh pada kinerja dan koordinasi.
Perseteruan antara DPD dengan DPR misalnya berimplikasi pada kewenangan legislasi. Pada Oktober lalu, DPD mengajukan uji materi perundangan ke Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan legislasi. “Tentu akan lebih baik kalau konflik antar lembaga itu bisa dibicatarakan antar lembaga terkaity dengan pendekatan inklusif,” ujarnya.
Tersangkut masalah hukum
Otonomi daerah bagi DPD merupakan kemandirian dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat di daerah secara efektif, efisien dan akuntabel. Namun seiring banyaknya pemekaran wilayah mengharuskan pemerintah pusat memberikan perhatian kepada Pemerintah Daerah (Pemda) baru.
Pemerintah pusat belum mengawal penuh terhadap penerapan otonomi daerah dalam menciptakan Pemda yang bersih dan transparan.
Pemerintah pusat belum mengawal penuh terhadap penerapan otonomi daerah dalam menciptakan Pemda yang bersih dan transparan.
Bukan menjadi rahasia, ratusan kepala daerah dan legislatif daerah tersandung persoalan hukum. Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri sepanjang 2004-2012 sebanyak 277 kepala daerah terlibat kasus korupsi. Sedangkan anggota DPRD di tingkat kabupaten dan kota tercatat 2.553 terlibat korupsi.
Irman menuturkan fenomena itu disebabkan mekanisme politik berbiaya tinggi. Pemerintah tak boleh berbangga diri dengan slogan ‘persamaan di depan hukum’ sebagai jualan politik. Ia berpandangan perlunya dilakukan pembenahan secara komprehensif agar tak terjadi hal serupa. “Agar roda pemerintahan berjalan lancar dan daerah pun berperan kuat sebagai akselerator tercapainya tujuan negara,” imbuhnya.
La Ode menambahkan penyimpangan keuangan berindikasi korupsi di daerah masih cukup tinggi. Banyaknya kasus korupsi menunjukan menurunnya moralitas penyelenggara negara dan pelanggaran kode etik serta sumpah jabatan. Tidak hanya menjerat elit eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif.
“Korupsi yang sudah menjangkiti pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah merupakan penyakit kronis yang perlu segera dicarikan obatnya,” pungkasnya.HKO
Posting Komentar